Sunday, December 2, 2012

Lesson Learnt from a Movie: Life of Pi

Life of Pi adalah buku yang dengan cepat menarik perhatian begitu aku melihatnya di toko buku.

Anehnya adalah walaupun aku sangat tertarik dengan buku ini (dan aku memilikinya!), tapi aku tidak segera membacanya.
Teranggurkan begitu saja di rak buku begitu terbeli.

Hingga tahu-tahu, buku ini sudah diadaptasi ke layar lebar. Sedikit di luar kebiasaanku, aku memutuskan untuk menonton film ini sebelum aku membaca bukunya. Hal itu terakhir kulakukan dulu ketika menonton Bridge of Terabithia (another good movie).

Life of Pi adalah film tentang "perjalanan spiritual" seorang Pi.

Life of Pi dibuka dengan adegan aneka binatang di kebun binatang dengan diiringi lagu Pi's Lullaby - Mychael Danna. Lagu yang sangat menenangkan, cocok untuk menemani yoga di pagi hari (tidur dong?) malam hari, terutama ketika sedang melakukan savasanna. -> sebagai penggemar musik dan penggemar yoga, aku merasa ini penting untuk ditulis walaupun ini sebenarnya tidak terkait dengan tulisan ini.

Pi merupakan nama panggilan dari Piscine Patel.
Keluarga Patel merupakan keluarga suatu pengusaha yang memiliki sebuah kebun binatang.
Suatu ketika Ayah Patel memutuskan untuk berimigrasi ke Kanada.
Dalam perjalanan ke Kanada bersama dengan hewan hewan yang akan mereka jual, kapal yang mereka tumpangi terkena badai di Samudera Pasifik.
Pi terombang ambing di laut bersama Richard Parker, seekor macan Bengali dewasa di dalam sebuah rakit.

Apa yang terjadi selama Pi terombang ambing di lautan bersama Richard Parker ini lah yang menjadi inti cerita dari "Life of Pi". 

Yang akan kutulis di bawah ini adalah interpretasi aku pribadi, 

"Tuhan" itu lebih dari sebuah label.
Tidak peduli apakah awal dari perkenalanmu dengan "Tuhan" dimulai dari Hinduisme, dari Kristiani, atau pun dari Islam, (atau pun dari agama lain) itu adalah perjalanan spiritual setiap invididu secara pribadi. Tidak ada orang lain yang dapat mengatakan kepadamu, akan bagaimana kah perjalananmu, karena itu adalah suatu hal yang harus dialami secara pribadi. 

Jangan pernah berputus asa, yakinlah bahwa selalu ada pengharapan bahkan di saat tersulit.

Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada tidak bisa mengucapkan selamat tinggal.
(dedicated for my dear cousin: Petrus Sigit , 25 April 1974- 30 November 2012)


Manusia adalah makhluk yang penuh pengharapan. Manusia ingin percaya bahwa manusia lain akan selalu memiliki nilai kemanusiaannya, bahkan dalam keadaan terdesak.

(my opinion: *****/5)