Monday, November 24, 2014

Demi Masa Depan yang Cerah di Timur Indonesia...

Sumba..

Apa sih yang terpikirkan ketika mendengar Sumba?

Sebagai seseorang yang mengaku suka menambah koleksi jejak kaki, Sumba adalah salah satu pulau yang ingin sekali saya datangi.
Awalnya sih mungkin karena saya sudah pernah ke Labuan Bajo dan Timor.
Rasanya seperti melihat Indonesia dengan nuansa alam dan orang-orang yang berbeda (yang anehnya adalah saya ini sering disangka sebagai orang dari kawasan Indonesia Timur).

Yang paling mencolok dari daerah NTT adalah matahari!
Matahari bersinar sangat terik (sunblock pun hanya mampu menahan biar kulit tak terbakar, dalam sekejap saya sudah berubah menjadi nona hitam manis :p kala berkunjung ke sono) dan mereka memiliki iklim yang sangat kering. Musim hujan hanya terjadi selama sekitar 2 bulan per tahun.
Jadi bayangkan tanaman seperti apa yang mesti kuat bertahan untuk ditanam di daerah sana, mengingat sulitnya mendapatkan air di sana.

Jujur saja, sebelum saya sampai ke NTT, saya tidak pernah membayangkan ada daerah di Indonesia yang sedemikian sulitnya memperoleh air.
Dari jaman sekolah, saya sudah terbiasa mendengar istilah Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa. Untuk beberapa area, mungkin itu memang benar, tapi untuk beberapa area lain, itu tidak berlaku.
Hal itu baru saya sadari setelah saya bekerja dan sudah cukup banyak daerah di Indonesia yang sudah saya datangi. Namun sejauh ini, area paling kering yang pernah saya kunjungi memang berada di NTT.

Apa sih dampaknya kalau kita terpaksa tinggal di daerah yang mengalami kesulitan air?
Kalau yang terpikirkan oleh saya sih, kalau pun saya punya air bersih, akan saya prioritaskan untuk minum dan makan (misal sop?).
Setelah itu ya baru mandi, cuci, kakus alias MCK.
Bayangkan, sudah kering, berdebu, terus untuk bebersih pun susah. Kalau sudah kondisinya seperti itu, ancaman diare tentunya sudah di depan mata.
Diare merupakan penyebab kedua terbesar tingginya tingkat kematian anak balita di NTT.
Tingkat kematian anak balita di NTT saat ini mencapai 58 per 1000 kelahiran, sementara secara nasional saat ini tingkatannya adalah 40 per 1000 kelahiran. 
(sumber: http://nttprov.go.id/new/index.php/2014-03-13-05-54-55/informasi-kesehatan#angka-kematian-anak-balita-akaba)

Tentunya itu angka yang membuat miris bukan?
Bagaimana kehidupan di sana akan dapat berkembang jikalau generasi muda nya sakit, atau bahkan sampai ada yang meninggal karena masalah yang sebenarnya dapat diatasi dengan penyediaan air bersih dan pengetahuan sanitasi sederhana seperti mencuci tangan sebelum makan?
Anak-anak balita ini lah yang nantinya akan membangun area mereka, mengubah masa depan mereka menjadi lebih baik. Merekalah agen perubahan alias agent of change.

Tidak adakah sesuatu yang dapat kita lakukan bagi mereka?

Dari situlah saya merasa tertarik ketika mendapatkan kesempatan dari femaledaily.com untuk menghadiri acara campaign dari Unilever mengenai Project Sunlight.

Ada video yang sangat berkesan dan menurut saya sangat bernilai untuk disharing.

sumber: Youtube - Gagasan Anak Tentang Masa Depan Mengenai Sanitasi

Pembicara di video tersebut adalah Dira Noveriani, seorang siswi berusia 17 tahun.
Dia mengatakan "Tantangan terbesar kita adalah sifat apatis"
Apa sih sebenarnya yang dimaksud oleh Dira?

Dalam urusan kebersihan, ada contoh sederhana.
Sering bukan kita menyaksikan ada penumpang dari sebuah mobil mewah di depan kita yang tiba-tiba membuang sampah lewat jendela?
Tentunya sang penumpang itu sadar mengenai "Oh saya ingin mobil yang bersih", tapi dia tidak peduli itu sampah akan menghilang ke mana.

Atau yang juga selalu menggelitik saya adalah masalah kamar kecil di tempat umum.
Apa sih susahnya membuang tissue di tempat sampah yang sudah tersedia?
Atau menjaga kamar mandi tetap kering setelah kita pergunakan?
Atau apa susahnya membilas sisa BAK atau BAB?
Kadang di mall-mall mewah pun itu sering lho terjadi, di tempat yang sebenarnya tidak kesulitan air bersih. Hal ini terjadi di suatu tempat yang konsumennya kemungkinan besar dari orang-orang yang strata sosialnya cukup tinggi, dan bahkan kemungkinan besar berpendidikan tinggi.

Itulah contoh nyata sifat apatis.

Sebagai seorang ibu, saya sangat ingin bisa membesarkan seorang anak yang tidak apatis dengan lingkungan sekitarnya.
Karena saya percaya, kala saya bisa membesarkan seorang anak yang bisa peduli dengan sesamanya, maka akan ada seorang (atau lebih) anak di tempat dan waktu lain yang akan memperoleh manfaatnya ketika kelak anak saya dapat berbuat sesuatu. Apa yang saat ini baru menjadi gagasan seorang anak mengenai masa depan, tidak mustahil akan menjadi karya nyata buat anak lain.

Ada ga sih cara berpartisipasi yang mudah?
Tentunya ada dong, salah satunya dengan mendukung proyek yang sudah sempat saya singgung di atas, yaitu "Unilever Project Sunlight, Dukung Masa Depan Sehat".
Di situ disebutkan ada beberapa cara yang bisa kita ikuti:

  1. View : lihat contoh film inspiration yang tersedia di situs Project Sunlight. Untuk setiap kali film itu disaksikan, Unilever akan menyisihkan Rp 100,00.
  2. Act
    1. tuliskan ide Anda mengenai #brightfuture: untuk setiap ide yang dituliskan, Unilever akan menyisihkan Rp 1000,00.
    2. ajarkan kebiasaan sehat ke lingkungan sekitar, materi dapat didownload di situs Project Sunlight.
    3. jadilah relawan #brightfuture: untuk setiap relawan yang bergabung dalam program edukasi di sekolah mengenai sanitasi, Unilever akan menyisihkan Rp 100.000,00
    4. untuk setiap pembelian produk Unilever seperti Lifebuoy, Domestos atau Pepsodent di Lotte Mart, Unilever akan menyisihkan Rp 1000,00
  3. Share: tidak ada hal yang lebih bernilai daripada jika suatu hal baik dilakukan oleh lebih banyak orang, jadi jangan lupa share 
  4. Follow: ikuti terus kisah-kisah inspiratif yang dimuat di situs project Sunlight.
Semua dana yang disisihkan oleh Unilever akan disalurkan untuk program edukasi dan sanitasi di Sumba, NTT.

Info lebih detail mengenai bisa diakses melalui situs Project Sunlight atau pun Facebook Fan Page Unilever.


Sebagai penutup...
seorang kawan backpacker pernah mengatakan hal ini ketika kami sedang berada di area NTT.
Sev, gw sedih kalau pas lagi belanja di daerah sini (Kawasan Timur Indonesia). Kalau mereka ngasih kita uang kembalian, uang kertasnya itu lecek banget. Artinya perputaran uang di area ini dikit lho. Kalau ga ada orang-orang seperti kita yang datang untuk berwisata dan membelanjakan uang kita, bayangkan tingkat kesulitan hidup orang-orang ini.
Saya menitipkan sedikit harapan saya untuk menyambut masa depan yang lebih cerah di Timur Indonesia melalui project Sunlight ini.
Timur adalah tempat terbitnya mentari dan saya ingin ada secercah harapan yang terbit bagi masa depan anak-anak di sana.

No comments: