Tuesday, July 30, 2013

"Terbiasa" dan "Bangga" menjadi Kancil

Siapa sih orang Indonesia yang tidak tahu mengenai dongeng-dongeng si Kancil?

Kancil terkenal sebagai hewan yang biarpun kecil secara fisik, namun memiliki kecerdikan, sehingga bisa bertahan di dunia belantara (melebihkan). Entah dalam menghadapi buaya atau pun petani.

Saya tidak suka dengan karakter si Kancil ini.
Menurut pendapat saya pribadi, apa yang dilakukan Kancil ini tidaklah cerdik, melainkan curang.

Apa yang curang?

Misal dalam cerita Kancil dan Buaya.
Kancil ingin menyeberangi sungai, dan dia mengakali sang Buaya demi mendapatkan keinginannya.

Hal itu pula yang terjadi di sekian dongeng Kancil yang lain.
Dia "mengakali" untuk mendapatkan keinginan.

Yang patut disayangkan, dongeng-dongeng Kancil ini cukup lekat dengan pendidikan anak di Indonesia. Dongeng Kancil seringkali dipergunakan untuk bacaan singkat dalam pelajaran bahasa.
Kalaupun ada pembahasan mengenai karakter si Kancil, yang ditekankan adalah kecerdikan.
Sangat jarang ada pembahasan mengenai hal yang dilakukan si Kancil adalah "mengakali".

Apa jadinya jikalau tokoh Kancil menjadi sosok teladan?
Yang akan melekat adalah "tidak apa-apa kita mengakali sesuatu demi mendapatkan keinginan".
Sesuatu itu bisa berarti peraturan, orang yang dianggap jahat, atau siapa pun itu.

Itulah yang sepertinya cukup banyak terjadi saat ini.
Orang sebegitu terbiasa mengakali peraturan, dan yang paling aneh, ada orang-orang yang "bangga" kalau berhasil mengakali peraturan.

Bagi saya, mengetahui kalau ada orang-orang yang terbiasa mengakali peraturan saja sudah merupakan suatu hal yang membuat dahi saya berkerut. Bangga? Tampaknya memang ada sesuatu yang salah.

Contoh mengenai "terbiasa":
  • saking seringnya orang di Indonesia terbiasa mempergunakan jasa calo dalam mengurus entah SIM, STNK, dan lain sebagainya, maka akan sulit mencari informasi bagaimana sebenarnya prosedur yang memang resmi.
  • pembajakan: di Indonesia, pemahaman mengenai hak kekayaan intelektual belum benar-benar dipahami. Alasan biaya yang lebih ekonomis dijadikan justifikasi yang "membenarkan" penggunaan barang bajakan. Saya tidak munafik, pernah ada masa ketika saya menikmati mengunduh sekian GB Mp3 atau pun MKV. Namun sejak saya kehilangan semua "koleksi" sekian GB tersebut, saya merasa bahwa saya harus merubah, karena toh bukannya saya tidak mampu untuk membeli. Sejak itu saya hanya mendengarkan lagu dari radio, atau saya akan membeli CD lagu tersebut, atau membeli lagu tersebut di iTunes. 

Contoh mengenai "kebanggaan"
  • kecepatan di jalan tol: berapa banyak orang yang menyadari bahwa batas kecepatan di jalan tol itu rata-rata 60-80 km/jam? Saya hanya menemukan 1 ruas tol yang memperbolehkan batas kecepatan maksimum 100 km/jam, yaitu di ruas Cikampek. Logikanya, dengan batas kecepatan segitu, waktu tempuh Jakarta Bandung akan mencapai minimal 2 jam. Nah, seringkali saya mendengar cerita "bangga" kalau bisa menempuh Jakarta- Bandung hanya dalam sekian jam (bahkan ketika belum ada tol Purbaleunyi lho). Atau misal di posting saya yang lain, pernah ada kejadian suami saya menyetir dengan kecepatan 80 km/jam dan malah diklakson, disiram air, dikepet? What's wrong? Batas kecepatan di suatu jalan tentunya telah dibuat dengan mempertimbangkan aspek keselamatan. Untuk apa Anda perlu merasa bangga jika bisa melewati batas itu? Jikalau Anda ternyata mengalami kecelakaan, maaf ya, saya tidak akan bersimpati pada Anda.
  • ini yang paling baru saya baca ya... Indonesia tidak menganut dual citizenship kecuali bagi anak-anak di bawah 17 tahun yang berasal dari perkawinan campur. Ternyata ada beberapa orang yang menceritakan dengan "bangga" nya kalau mereka memiliki dua paspor. Saya kurang paham juga sebenarnya mengapa pemerintah membatasi jumlah kewarganegaraan, tapi aturan dibuat pasti ada tujuannya. Dan selama Anda memegang paspor RI, berarti Anda tunduk terhadap undang-undang RI, yang berarti Anda tidak boleh memegang 2 kewarganegaraan. Patuhilah, atau buanglah paspor RI tersebut.
Masih ada sekian banyak cerita mengenai "terbiasa" dan "bangga" menjadi Kancil. (Ya, BANYAK).

Saat ini saya sedang mengandung seorang anak. Saya hanya berharap, moga-moga nanti dia tidak menjadi seorang Kancil.

 

2 comments:

catfish, who loves tigerfish said...

Banget sev..
Gue juga gak suka cerita kancil, baik yg nyolong ketimun trus digebukin orang sekampung, ataupun yg ngakalin buaya.

Rasanya emang banyak orang melayu yang bangga ya kalo bisa ngakalin untuk mendapatkan sesuatu.

Kmaren di tv sini dijelasin gimana proses SIM di Daan Mogot hahaha memalukan bgt deh, malah gue nonton rame rame ckckck..

Sevy B said...

Ya kan My...
Gw sampe bingung tiap denger orang 'pamer' klo bisa 'ngakalin' sesuatu..
Bukannya sok moralis sih, tapi kayak gitu pan mestinya malu... Ajaib emang...