Thursday, December 19, 2013

How To: Mengurus Pemindahan Meteran Listrik

Ketika melakukan renovasi rumah kemarin, saya dan suami meminta tembok fasad depan dimundurkan sekitar 1.5 meter.
Otomatis, meteran listrik harus dipindah juga.
Sebenarnya sih ada tetangga yang menawarkan jasa pemindahan meteran itu, tapi daripada nanti ada kenapa-kenapa dengan segelnya yang malah bisa membuat kami terkena denda, maka kami memutuskan untuk menghubungi PLN.

Prosedurnya:
  1. Lakukan pembayaran tagihan bulan berjalan terlebih dahulu.
  2. Hubungi 123, sebutkan nama Anda
  3. Sebutkan layanan yang diinginkan, dalam hal ini Pindah Meter
  4. Sebutkan nomor pelanggan, lokasi, kemudian juga nomor KTP dan telpon akan dicatat.
  5. PLN akan memberikan nomor registrasi layanan dan memberitahukan PLN cabang mana yang akan bertanggung jawab.
  6. Petugas akan melakukan survey ke lapangan. ( Dalam hal ini, petugas datang ke rumah kami berselang 3 hari kerja. Sebenarnya 2 hari kerja sih, tapi petugasnya kesulitan menemukan rumah kami, jadi baru kembali lagi esok harinya.)
  7. Selesai survey, petugas akan memberikan 1 slip bewarna biru berisi rincian perkiraan biaya pekerjaan dan material. 
  8. Lembaran biru tersebut dibawa ke PLN cabang seperti yang disebutkan di nomor 5.
  9. Lampirkan fotokopi KTP, dan lakukan pembayaran untuk jasa pemindahan dan biaya material. (Detail per SoW disebutkan dengan cukup jelas di bukti pembayaran)
  10. Tunggu 3-10 hari kerja hingga petugas datang.

Total biaya yang keluar: sekitar 500k


Terlampir:
-slip berwarna biru yang diberikan pasca survey
- bukti pembayaran


Semoga bisa membantu :)


Thursday, November 28, 2013

Jangan jadi Pasien Sotoy ah!

Tau kan sotoy itu apa?
Orang yang sotoy tentunya pasti tahu apa itu sotoy, hehehe.
Ini cuman sekedar melanjutkan postingan gw yang tentang Tenggelam Dalam Informasi .

Kebenaran beberapa hari ini kan emang lagi pada heboh ngomongin soal aksi mogok dokter.
Beberapa hari ini, gw banyak berbincang-bincang dengan mertua gw yang sedang berkunjung ke Jakarta dalam rangka 7 bulanan kehamilan gw.

Nah mertua gw bukan dokter sih, tapi seorang pensiunan kepala bidan di salah satu RSIA. Jadi ya lumayan banyak tahu mengenai dunia medis.
Kebetulan lagi, nyokap gw sendiri juga eks bidan dan perawat.
Jadi bisa dibilang sedari gw kecil hingga sekarang, kalau gw sakit atau apa, gw bisa dapat saran dan perawatan gratis dari orang yang pernah mempelajari ilmu medis.

Gimana pun juga, berada dekat dengan orang-orang tersebut, itu membuat gw mungkin cukup paham kalau yang namanya ilmu pengetahuan (di bidang apa pun), bukanlah sesuatu yang mudah diperoleh. Yang namanya teori kalau tidak dibekali dengan pengalaman, tentunya tidak akan berguna dalam kehidupan nyata.
Sikap dan tindakan seseorang yang dulunya setiap hari terbiasa melihat kasus begini-begitu dan harus bisa memberi saran dan tindakan, tentunya berbeda dengan pengetahuan orang awam yang mungkin cuman sekedar membaca saja.

Makanya, sejujurnya gw merasa sangat terusik ketika di era "just ask google" ini, muncul fenomena pasien dan keluarga pasien yang "sotoy".
Apa sebenarnya itu?
Saking banyaknya informasi yang bisa tersedia apabila kita mengklik suatu search engine, kadang kita merasa "Gw mencari info tentang topik ABC, kemudian google menunjukkan ada A, B, C, D, E, F, G, sampe Z. Gw baca A sampe Z itu, artinya gw sudah memahami."
Salah.

Gw mencoba membuka beberapa web berisikan informasi kesehatan dan membuka "Terms and Condition" dari web-web tersebut.
Yang muncul adalah:
*** provides medical information for use as information or for educational purposes. We do not warrant that information we provide will meet your health or medical requirements. It is up to you to contact a health professional if you are concerned about your health.
*** does not give medical advice in relation to any individual case or patient, nor does *** provide medical or diagnostic services. 
If you are a medical or health professional then you are encouraged to use *** for general information purposes.  However, you should not rely on material included on *** and we do not accept any responsibility if you do.
atau:
The contents of the ***, such as text, graphics, images, information obtained from ***'s licensors, and other material contained on the *** Site ("Content") are for informational purposes only. The Content is not intended to be a substitute for professional medical advice, diagnosis, or treatment. Always seek the advice of your physician or other qualified health provider with any questions you may have regarding a medical condition. Never disregard professional medical advice or delay in seeking it because of something you have read on the *** Site!
atau:
THE CONTENT AVAILABLE VIA THE WEB SITE IS PROVIDED WITH THE UNDERSTANDING THAT NEITHER *** NOR ITS SUPPLIERS OR USERS ARE ENGAGED IN RENDERING MEDICAL, COUNSELING, LEGAL, OR OTHER PROFESSIONAL SERVICES OR ADVICE.
SUCH CONTENT IS INTENDED SOLELY AS A GENERAL EDUCATIONAL AID. IT IS NOT INTENDED AS MEDICAL OR HEALTHCARE ADVICE, OR TO BE USED FOR MEDICAL DIAGNOSIS OR TREATMENT, FOR ANY INDIVIDUAL PROBLEM. IT IS ALSO NOT INTENDED AS A SUBSTITUTE FOR PROFESSIONAL ADVICE AND SERVICES FROM A QUALIFIED HEALTHCARE PROVIDER FAMILIAR WITH YOUR UNIQUE FACTS. ALWAYS SEEK THE ADVICE OF YOUR PHYSICIAN OR OTHER QUALIFIED HEALTHCARE PROVIDER REGARDING ANY MEDICAL CONDITION AND BEFORE STARTING ANY NEW TREATMENT.
atau
While some of the information on this site is about medical issues, it is not medical advice and should not be construed as such. If you are concerned about your health or your child's health, contact your health care provider and/or seek medical care immediately.

*gw copas T&C dari beberapa website yang seringsekali dijadikan referensi oleh orang awam.

Berapa banyak orang yang benar-benar memahami arti T&C yang tertulis di situ?
Coba saja tanyakan ke diri Anda sendiri.

Kembali ke perbincangan gw dengan ibu mertua.
Beliau bercerita, saat ini sulit sekali buat tenaga medis untuk mencoba memberikan penjelasan atas saran dan tindakan yang mereka lakukan.
Sebabnya ya itu, banyak pasien atau pun keluarga pasien yang membekali diri dengan terlalu banyak informasi (terutama dari internet) dan bersikap sotoy.
Masih mendingan kalau informasinya diambil dari web-web organisasi kesehatan. Kalau hanya berdasarkan opini di forum? Menurut gw pribadi, apa yang ditulis orang di forum itu bersifat subjektif berdasarkan pengalaman pribadi yang belum tentu cocok untuk setiap orang.
Gampangnya begini deh, misal ada 2 orang yang menampakkan gejala yang mirip, tapi bisa saja sebenarnya penyebabnya bisa 2 hal yang berbeda. Kita sebagai orang awam tidak terlatih untuk menganalisa sedalam itu. Bahkan tenaga medis pun membutuhkan hal yang namanya wawancara dengan pasien dan pemeriksaan fisik (plus mungkin pemeriksaan lab) sebelum dapat memberikan prognosis.

Bersikap kritis itu perlu. Tapi bedakanlah antara kritis dan sotoy.
Kalau memang Anda merasa lebih tahu dari para tenaga medis, lalu mengapa Anda datang ke mereka?

Jadilah pasien yang cerdas dan kritis, tapi jangan sotoy ya...

Friday, November 22, 2013

Ironi Sang Paspor yang Miskin Cap

Sekitar awal Oktober 2010, gw memperpanjang paspor gw.
Benernya sih paspor gw itu baru bakalan expired akhir April 2011, tapi secara gw ada plan untuk ngetrip ke Hanoi di awal November, jadinya gw perlu memperpanjang itu paspor daripada ntar kejadian gw ketahan di bandara karena masa berlaku kurang dari 6 bulan.

Entah kenapa, begitu sang paspor baru ini kelar, dimulai lah rentetan "tidak berjodoh dengan luar negeri"

Tentu saja dimulai dari trip Hanoi itu tuh...
Gw udah megang tiket, tapi karena urusan kerjaan alias meeting besar tahunan, gw terpaksa membatalkan trip itu. (Paling ga tiket pesawat gw diganti duit tunai ama si boss)

Tahun 2012, gw ditawarin training ke Manila ama pak boss. Gw udah senyam-senyum senang, sampe gw ngeliat judul materi training nya. Itu kan yang baru bulan lalu ada training lokal di Jakarta?
Pas memeriksa detail material, aduh, positif sama 100%! Trainernya pun sama pula.
Setelah bergumul antara keinginan ingin pergi versus kejujuran itu penting, akhirnya gw memutuskan kalau kejujuran gw kagak bisa dibeli biarpun gw mupeng ke Manila. So bye bye..

Tahun 2013, gw ditawarin on job training di Thailand. Kali ini gw kagak sempet senyum-senyum, udah langsung mengkerut di kursi. Kenapa? 
Tentunya karena gw tahu kalau gw ga mungkin pergi karena gw sedang hamil.
Apalagi pas trimester 1 itu kehamilan gw mayan bikin senewen karena mual-mual ga keruan.
Biarpun berangkatnya pas trimester 2, tapi gw tau ga mungkin suami gw setuju, dan gw juga ogah membayangkan lagi hamil dengan perut membesar sendirian di negeri orang yang bahasanya pun gw ga mudeng. So bye bye..

Belum juga sampe gw kelar hamil, sekarang gantian gw ngedengerin orang-orang pada mo meeting besar di Batam (baca sebagai batu lompatan ke Singapore)
Ah? setelah bertahun-tahun gembor-gembor mo meeting besar di A, di B, di C, tapi ujung-ujungnya selalu balik ke gedung tercinta di Gatsu itu, sekarang mereka malah beneran berangkat ke Batam?
Tepok jidat lagi deh gw, secara gw kan lagi digrounded di Jakarta. So bye bye..

Nah....
sebenarnya yang lucu adalah ironi sang paspor yang miskin cap ini juga menular antara gw dan suami gw.
Jadi sebelum kita berdua officially barengan, dia juga tipe yang udah sempet mengisi paspornya.
Tapi begitu kita jadian (sampe sekarang nikah), rezeki buat mengisi cap di paspor langsung seret abis.

Dia ditawarin ke Swedia, tapi ga mau ngambil karena terlalu mepet sebelum nikah.
Dia ditawarin ke Italia, tapi ga mau ngambil karena terlalu mepet setelah hanimun.
Dia ditawarin ke Hanoi, terus ke Doha, tapi ga mau ninggalin gw yang lagi hamil muda.

Tau-tau, minggu lalu dia ditawarin ke San Jose.
Tapiiiiiii..... kok tanggalnya itu, minus 2 minggu sebelum HPL nya anak kita berdua.
Itu kan dah masuk masa siaga?
Emang sih acaranya cuman 3 hari, tapi klo tau-tau sang bayi dah pingin nongol, ga lucu bener gw lagi mulas-mulas mo lahiran sementara oknum satunya ada di benua seberang?
Atau misal kebalikan... ternyata gw lahiran sebelum dia berangkat, ntar ga lucu juga dia kelop-kelop di bandara sendirian membayangkan istri dan anaknya yang baru lahir...

Jadi... tampaknya cerita ironi sang paspor yang miskin cap ini masih akan berlanjut sampai entah kapan...^_^!

Kalau kata adik gw sih, itu pertanda kalau gw ama suami disuruh mencintai dalam negeri dulu sebelum jalan-jalan di luar.
Benarkah?

Waktu yang akan menjawab, hehehe...



Wednesday, October 9, 2013

Tenggelam dalam Informasi

Saat ini kita hidup di suatu era di mana gampang sekali mendapatkan aneka informasi.

Mau tau sesuatu? Tinggal tanya mbah Google, maka akan ada banyak sekali link menuju informasi yang ingin diketahui.

Tapi apakah memang semudah itu untuk mendapatkan informasi?

Menurut gw, justru saat ini lebih susah untuk mendapatkan informasi yang reliable.
Mengapa?
Soalnya banyak sekali orang-orang yang mencoba menganalisa/mereview sesuatu dari sisi orang awam. Susahnya, review dari sisi orang awam seringkali menghasilkan review yang subjektif, tidak lagi objektif.

Sebagai konsumen, gw sih bingung karena ada banyak sekali macam barang yang tersedia. Dari yang super murah sampai dengan super mahal, semua ada.
Dari yang kualitasnya entah kenapa bisa lolos seleksi sampai yang sudah super canggih sampai sudah bingung gimana cara makenya.

Tanya sana sini, mencari informasi, makin bingung karena kok banyak sekali pendapat.

Sebagai orang yang (ngakunya) kerja sebagai engineer, gw tau kok pentingnya memahami konsep dasar dalam proses dan sistem, tapi untuk aplikasi sehari-hari, terlalu banyak teori itu malah akan membuat mumet.

Jadi gampangnya, biasanya gw memfilter informasi seperti ini:

  • sumber teori -> artikel ilmiah akan lebih valid ketimbang review
  • siapa yang menulis artikel/review beserta karakter penulis: orang yang sotoy, hobi nakut-nakutin -> coret!
selebihnya... mari biarkan logika dan insting yang bekerja dan semoga gw ga kelelep duluan, hihihi...

Tuesday, October 1, 2013

How to: Mengkalkulasi Kebutuhan Lampu Suatu Ruangan

Mumpung saat ini gw lagi merenovasi rumah, gw berpikir untuk sekalian mengganti lampu-lampu yang ada dengan lampu LED.

Kebetulan jumlah titik lampu di rumah juga berubah, jadi kayaknya ini saat yang tepat untuk menghitung-hitung lagi.

Biasanya sih, kalau pas kita beli lampu, yang kita perhatikan itu Watt-nya.
Ga salah sih, karena konsumsi watt nya itu ntar bakal mempengaruhi tagihan listrik bulanan (or pulsa listrik buat yang prabayar).
Tapi jadi agak-agak kurang pas kalau watt nya itu yang dijadikan patokan untuk emisi cahaya.
Unit untuk emisi cahaya adalah lux.

Setiap lampu, baik pijar, CFL, LED, memiliki illuminence dengan unit satuan lumen alias lux x meter persegi.
Biasanya ketika kita membeli lampu CFL atau LED, di kemasannya tercantum keterangan seperti ini "sebanding dengan lampu pijar sekian watt".
Maknanya adalah lampu CFL atau LED itu memiliki jumlah lumen yang sama dengan lampu pijar.
Akan terlihat bahwa watt lampu CFL atau pun LED lebih kecil daripada watt yang diperlukan oleh lampu pijar dengan tingkat lumen yang sama.

Contoh cara membaca spesifikasi suatu lampu:

  • lampu LED keluaran produsen A 
    • Wattage: 8 W
    • Lumen: 400 lmn
  • lampu LED keluaran produsen B
    • Wattage: 9 W
    • Lumen: 600 lmn
  • lampu LED keluaran produsen B (tapi untuk market negara X)
    • Wattage: 7 W
    • Lumen: 600 lmn


lampu LED keluaran produsen B memiliki tingkatan lumen yang sama-sama 600 lmn, namun pemakaian daya listrik akan lebih hemat jika kita menggunakan yang memiliki wattage 7 W ketimbang 9W.
Sayangnya, tidak semua produsen mencantumkan secara eksplisit berapa lumen lampu yang mereka produksi. Pas terakhir gw cek di sebuah toko lampu, ada yang hanya mencantumkan kalimat "ekivalensi nya", kadang ada yang lengkap dengan lumen nya, kadang ada juga lumen/watt dan watt nya (artinya monggo hitung sendiri tuh itu berapa lumen, hehehe).

Informasi lain yang mungkin perlu diketahui adalah efisiensi luminous secara umum: (sumber: wikipedia)

Incandescent bulb: 12-18 lumens / watt
Halogen incandescent: 24 lumens / watt
Compact fluorescent: 45-75 lumens / watt
LED: 60-100+ lumens / watt

Terlihat bahwa tidak semua lampu LED lebih efisien daripada lampu CFL.

Setelah kita mengetahui spesifikasi lampu, sekarang saatnya melihat kebutuhan cahaya.
Masing-masing negara biasanya memiliki standar berapa lux yang dibutuhkan untuk suatu jenis ruangan.
Contoh untuk standar AUS: (sumber: Brightgreen.com )

Lux Level Standard (AU)

Step berikutnya adalah menghitung lumen yang dibutuhkan dengan rumusan:

lumen= lux x luas

Contoh: misal ada dapur berukuran 3 m x 3 m, maka lumen yang dibutuhkan: 160 x 3 x 3 = 1440 lumen
Jika misalnya yang dipergunakan adalah lampu dari produsen B (600 lumen), maka akan dibutuhkan 2-3 buah lampu.

Sebenarnya selain lumen ini, masih ada satuan satuan lain seperti CRI (colour rendering index), tapi tampaknya terlalu rumit untuk dibahas :)

Jadi sudah bisakah Anda menghitung berapa titik lampu dan jenis lampu yang akan dipasang?

Monday, September 23, 2013

Mobil Murah? *Tepok Jidat*

Beberapa hari ini, digulirkan wacana soal mobil murah di Indonesia.

Menurut saya ini adalah ide yang amat sangat teramat super duper bodoh (biarin lebay).

Dulu kebijakan pajak mobil progresif itu dibuat untuk tujuan apa sih?
Salah satu tujuan tersiratnya kan untuk mengurangi kemacetan bukan...?

Lah sekarang, dengan wacana mobil murah, itu bukannya akan membuat orang-orang yang tadinya belum mampu membeli mobil, (mungkin) jadi mampu membeli mobil?

Lihat itu di jalan, jumlah motor yang berkeliaran sudah sedemikian banyak. Padahal sekitar 10-20 tahun yang lalu, jumlahnya tidak sebanyak itu.

Sudah rahasia umum juga kan kalau dari sekian banyak pengguna kendaraan bermotor itu, berapa banyak sih yang memang benar-benar lulus ujian SIM?
Berapa banyak juga yang sebenarnya cukup berkepala dingin untuk membawa kendaraan?
Tidak cukupkah jumlah angry drivers yang berkeliaran di jalan saat ini?

Saya bukan orang yang gampang naik darah (percayalah, menurut kenalan saya, saya orang yang sangat berdarah dingin), tapi ketika berada di jalanan Jakarta, seringkali saya sudah di ambang batas untuk mengacungkan jari tengah saya *maaf*. Yang menahan saya untuk tidak mengacungkan jari tengah hanyalah karena saya tidak mau ikutan berlaku kurang ajar juga.

Balik ke persoalan mobil murah.

Rasanya sangat sempit ketika mengukur tingkat kemakmuran penduduk Indonesia hanya dari mampu/tidaknya seseorang membeli kendaraan.
Memangnya tingkat daya beli masyarakat diukur dari mobil?
Bukannya kebutuhan pokok manusia itu Sandang, Pangan, Papan? (atau pelajaran di SD sekarang udah berubah ya? Jangan-jangan udah jadi Sandang, Pangan, Papan, handphone, mobil, dan lain sebagainya)

Saya pribadi lebih bangga jika saya bisa memiliki rumah sendiri, tidak mengontrak, ketimbang bisa membeli mobil.

Masalah lain dari mobil murah adalah soal bensin subsidi.
Sekarang aja pemerintah dah empot-empotan membiayai bensin subsidi.
Emangnya konsumsi bensin mobil murah itu sudah diperhitungkan?
Ntar ujung-ujungnya, mari kita naikkan harga bensin karena pemerintah sudah tekor APBN nya, yang secara ga langsung berarti kenaikan aneka harga barang dan jasa lain (tidaaaaaaakkkkk!)
Baca itu sebagai kenaikan harga makanan (Pangan lho), harga material rumah (Papan lho).
Yang murah terus apa dong?
Mobil?
Kagak bisa dimakan cuy...
Bisa sih dipake buat tempat tidur. Tapi mo diparkir di mana itu si mobil murah kalau ga punya rumah? Di pinggir jalan? Menuh-menuhin jalan dong ntar. Ujung-ujungnya bikin jalan ga berfungsi maksimal, macet.
Kalau jalan dah macet berat terus ngapain punya mobil? Kagak bisa dipake ke mana-mana juga toh. Daripada frustasi di jalan, ya sudah diam di rumah (kalau punya).

Saya mengerti sih memang tidak semua orang beruntung bisa mendapatkan lokasi tempat tinggal yang dekat dengan tempat aktivitas sehari-harinya.
Tapi mobil murah bukanlah solusi jangka panjang.
Sediakanlah transportasi massal yang nyaman dengan harga terjangkau.
Niscaya itu akan jauh lebih bermanfaat.


Thursday, September 19, 2013

Gelap dan Terang

Terang tidak selalu berarti aman.
Gelap tidak selalu berarti tidak aman.

Jikalau tidak ada gelap, bagaimana kamu mengetahui adanya terang?
Jikalau tidak ada terang, bagaimana kamu mengetahui adanya gelap?

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dua kalimat yang terakhir itu sesuatu yang saya peroleh ketika membaca sebuah manga Jepang, Garasu no Kamen.
Menurut saya pribadi, kedua kalimat tersebut memiliki makna yang dalam.
Kadang kita melihat sesuatu hanya dari 1 sisi saja, yaitu dari sisi yang kita anggap paling benar.
Janganlah lupa kalau sisi yang kita anggap benar itu seringkali hanyalah sesuatu berdasarkan subjektivitas pribadi kita.
Cobalah melihat dari sisi yang berbeda.







Otak Kiri? Otak Kanan?

Selama ini, gw berpikir kalau gw ini orang yang cenderung dominan otak kiri.

Why?

Soalnya dari jaman sekolah dulu sampe sekarang, gw ga ada nemu masalah dengan yang namanya angka.
Kalau kata orang-orang pun, untuk cewek, gw termasuk yang logis.
Kerjaan pun sekarang kan seorang telco engineer.

Intinya, gw berpendapat gw orang yang yang dominan otak kiri.

Sabtu kemarin, acara family gathering dari kantor membawa gw dan suami ke Trans Studio Bandung. Di dalamnya, terdapat Science Center. Salah satu fitur di Science Center adalah tes dominan otak kiri atau kanan.
Output dari tes tersebut adalah: dominan kiri, dominan kanan, seimbang cenderung kiri atau seimbang cenderung kanan.

*kalau mau iseng nyobain, cobain test ini deh..

Ternyata, jreng-jreng, gw dominan kanan (33% otak kiri, 67% otak kanan)

Reaksi pertama gw tentunya adalah menolak hal itu karena kok rasanya kagak matching ama gw ya.
Tapi setelah dipikir-pikir, hmm, mungkin perlu dilihat lebih detail...

Coba kita intip kutipan artikel di bawah ini soal left brain vs right brain.
The Right Brain
According to the left-brain, right-brain dominance theory, the right side of the brain is best at expressive and creative tasks. Some of the abilities that are popularly associated with the right side of the brain include:
  • Recognizing faces
  • Expressing emotions
  • Music
  • Reading emotions
  • Color
  • Images
  • Intuition
  • Creativity

The Left Brain
The left-side of the brain is considered to be adept at tasks that involve logic, language and analytical thinking. The left-brain is often described as being better at:
  • Language
  • Logic
  • Critical thinking
  • Numbers
  • Reasoning

Hmm, setelah berpikir, sebenarnya sih mungkin ada benarnya juga.
Walaupun saat ini gw punya title pekerjaan yang sepertinya menuntut logika, tapi mungkin memang apa yang benar-benar pingin gw lakukan bukanlah apa yang ingin gw lakukan sekarang.

Gw jauh lebih menyukai hal-hal yang berkaitan dengan kesenian.
Dari kerajinan tangan sampai seni musik, itu semua suka saya lakukan dan bisa saya nikmati. (Gw kagak mau pamer bisa ngapain aja, ntar dibilang som-se)

Bahkan saya sempat bercita-cita, kalau sudah pensiun dari jadi telco engineer, mau jadi guru musik saja ah, hehehehe...Atau mo buka toko kerajinan tangan begitu, walaupun sampai sekarang gw belum tahu pasti kerajinan tangan apa yang bisa gw kerjain secara kontinu. Atau mau jadi penulis?

Tapi bagaimana pun juga, gw tau kalau gw ga bisa banting setir semudah itu sih.
Biar hasilnya otak kanan dominan, gw yakin 1/3 otak kiri gw juga cukup kuat untuk bilang "ayo berpikirlah dengan logika".

Jadi, biarlah air mengalir saja, ntar lama-lama juga bakal keliatan bakal ke mana. 




Thursday, August 22, 2013

Tidak Berbakat Melanggar Aturan

Sedari saya kecil, entah mengapa, saya sepertinya tidak berbakat untuk melanggar aturan.

Mengapa?

Karena begitu saya melakukan sesuatu yang rada menyimpang, biasanya sih, perbuatan saya akan cepat sekali terbongkar (atau mungkin karena saya kurang pandai menyembunyikannya ya? hahaha)
Kadang malah ada "bonus", saya mendapatkan kesialan tidak lama setelah saya melakukan hal yang menyimpang tersebut.

Sebagai contoh:

  • Sebagai anak kecil, saya pernah iseng-iseng mencoret wallpaper rumah dengan pensil. Hanya coretan kecil bergambar bunga. Berselang beberapa hari, entah mengapa, inspeksi dari pemilik rumah datang. Hal ini terjadi ketika saya masih belum tinggal di Indonesia, dan tentu saja kita belum tentu bisa mengharapkan toleransi khas Indonesia "tidak apa-apa". Singkat kata, dicarilah siapa pelakunya, dan tentunya saya mengaku. Saya lupa apa hukumannya, tapi yang pasti "kejahatan" saya hanya berumur beberapa hari.
  • Ketika saya baru datang di Indonesia, salah satu hal yang tidak bisa saya lakukan adalah berbahasa Indonesia. Baik secara lisan maupun tulisan, sama-sama nol besar. Jadi bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika saya mengikuti ulangan dikte untuk pertama kali. Angka 0 tertulis besar di kertas ulangan. Sebelum saya pindah ke Indonesia, saya dikategorikan siswa dengan nilai cukup baik (tidak menyombong). Tentunya saya terpukul dengan nilai 0 ini. Semakin bingung karena kertas ulangan harus ditandatangani oleh orang tua. Maka saya melakukan hal paling sederhana yang terpikir oleh saya. Memalsukan tanda tangan (jangan ditiru!). Dasar amatir, tentu saja tanda tangan palsu itu teridentifikasi oleh guru saya, dilingkari besar-besar dengan bolpen merah, dikasih tulisan, dan saya harus benar-benar meminta tandatangan orang tua saya yang asli. Untunglah reaksi orang tua saya adalah memaklumi, dan guru pun akhirnya sadar kalau memang saya tidak mengerti bahasa Indonesia, sehingga akhirnya selama 2 caturwulan saya mendapatkan les tambahan Bahasa Indonesia sepulang sekolah
Masih ada beberapa lagi perilaku menyimpang yang pernah saya lakukan sih. Tapi ya itu, kebanyakan berakhir dengan ketahuan dalam tempo sesingkat-singkatnya, atau malah sekalian mendapatkan "bonus" hukuman. Lucunya adalah kadang saya melakukan sesuatu tidak dengan sengaja pun, tahu-tahu saya bisa mendapatkan "bonus" tersebut. 

Coba tolong jelaskan pada saya, bagaimana caranya ketika saya lupa membayar makan siang saya, kemudian dalam waktu kurang dari 24 jam saya mengalami gatal-gatal yang baru hilang setelah saya akhirnya membayar makan siang tersebut? *memutar bola mata*

Kadang saya dan suami saya bercanda bahwa saya ini "dikutuk" karma instan. Jadinya begitu saya mau melakukan sesuatu yang buruk, siap-siaplah ntar kejatuhan "bonus" sesuatu.

Merugikan? Tidak juga, karena itu berfungsi sebagai pengingat buat diri saya untuk berusaha tetap berada di jalan yang lurus.


Saturday, August 17, 2013

'Terkhianati' pada 17 Agustus-an

Kedua orang tua saya WNI.
Hanya saja, kebetulan dulu saya numpang lahir di negeri orang lain.
Sebagai anak kecil, saya hanya tahu kalau saya bukan penduduk asli, mungkin karena secara fisik saja memang kelihatan berbeda.
Saya tahu bahwa ada suatu tempat bernama Indonesia, karena kadang orang tua saya berbicara dengan bahasa Indonesia (sehari-hari kami mempergunakan bahasa setempat).
Pokoknya bagi saya, Indonesia itu suayi tempat yang jauh di awang-awang.

Hingga ketika Juni 1989, akhirnya kami sekeluarga pindah ke Indonesia.

Cultural shock tentunya terjadi, terutama mengenai kendala berbahasa.
Bahasa Indonesia saya bisa dibilang nol besar.

Di saat saya masih meraba-raba, apa ini, apa itu, tahu-tahu sudah bulan Agustus.

Tentunya ada momen 17 Agustus-an dong. Orang tua saya mencoba memperkenalkan saya dengan budaya itu, jadi mereka mendaftarkan saya untuk mengikuti lomba di RT atau RW tempat tinggal kami.

Terdaftarlah saya sebagai peserta 'Balap Kipas Balon'.
Dengan pemahaman saya yang terbatas akan bahasa Indonesia, say berpikir bahwa kipas tentunya berarti mengipasi balon dari garis start hingga ke garis finish.
Tolong dikoreksi jika pemahaman saya salah.
Mengipasi saya artikan sebagai memberikan efek hembusan angin yang diakibatkan oleh gerakan melambaikan kipas.
Tentunya ketika kita mengipasi sesuatu, tidak ada kontak fisik antara kipas dengan benda yang dikipasi bukan?

Nah, bayangkan betapa saya terpana, ketika saya sedang mengipasi balon berdasarkan pemahaman yang saya punya, dan melihat para peserta lain memukulkan kipas mereka ke balon supaya balon itu bergerak!
Lebih terpana lagi karena orang-orang menyoraki para 'pemukul' balon itu, sementara saya masih berjuang mengipasi balon saya, dan seperti sudah ditebak, tentunya balon saya masoh jauh dari garis finish ketika dinyatakan sudah ada pemenang.

Terpatah-patah dengan bahasa Indonesia yang tidak jelas digabung bahasa isyarat ala Tarzan, saya mencoba bertanya, 'Bukannya ini mestinya mengipasi balon?itu tadi pukul balon?'

Reaksi orang-orang adalah melihat saya dengan heran kemudian tertawa.
Dan saya tidak pernah mendapatkan jawabannya di hari itu.

Perasaan saya?
Terkhianati.

Di peringatan kemerdekaan Indonesia yang pertama saya ikuti, saya merasa usaha saya untuk mengerti bahasa Indonesia telah dipatahkan.
Saya tidak mengerti, apakah orang-orang memang mengganggap hal itu sepele karena itu hanyalah sekedar lomba kecil untuk perayaan.
Atau memang itu suatu pertanda bagi saya untuk waspada terhadap kata-kata ala orang Indonesia? Di mana orang tanpa sadar seringkali meremehkan pentingnya perkataan sekecil apa pun?

Hampir seperempat abad telah berlalu, namun saya masih selalu memikirkan kejadian itu setiap tanggal 17 Agustus tiba.
Kita merdeka secara negara.
Namun manusia Indonesia belum merdeka selama masih ada seorang anak bertanya 'Kenapa yang menang dalam lomba kipas balon adalah orang yang memukul balon?'

Dirgahayu Indonesia.

Semoga hanya saya saja yang 'terkhianati'.

Monday, August 12, 2013

Balada (Susah) Makan

Makan apa ya?
Itu pertanyaan yang kayaknya sering banget ada di pikiran gw saat ini.

Pertanyaan simpel sih, tapi rasanya ribet bener menjawabnya.
Udah pada dasarnya gw punya bakat hipersensitivitas ke sekian makanan (juga beberapa obat-obatan), ditambah juga ada pantangan tertentu berkaitan tingkat hormon gw, sekarang ditambah pula lagi hamil.

Gw ga perlu menyebutkan list makanan yang ga boleh gw makan, daripada membuat prihatin yang membacanya saking panjang listnya.
Gw cukup mensyukuri kenyataan bahwa gw masih boleh mengkonsumsi susu, telur dan kacang (tentunya bersama aneka turunannya).
Kalau ketiga bahan itu juga ga bisa gw makan, bah, ribet bener... Mana gw doyan banget lagi ama susu, yoghurt, dan keju-kejuan.

Kalau ditanya, susah ga sih ga boleh makan ini itu?
Jawabannya mah, susah-susah gampang kali ya.
Selama gw sendiri yang nyari makanan sih ga ada masalah.
Ibaratnya tinggal tutup mata dan terutama hidung.
Godaan mata lebih bisa dihalau ketimbang godaan wangi masakan yang menggiurkan.
Yang jadi masalah itu kalau misal ada undangan makan-makan.
Pilihan masakan terbatas, kadang malah ga ada yang bisa gw makan (hiks).
Masalah berikutnya itu kalau gw sedang travelling.
Gw termasuk orang yang suka nyicipin masakan aneh-aneh (lidah universal, alias gw kagak picky picky soal makanan, dan ini ternyata sudah sedari balita), dengan syarat tentunya makanan tersebut ada dalam kategori safe ingredient buat gw.
Amannya sih, biasanya pas travelling gw selalu nyiapin cadangan antihistamin, buat jaga-jaga kalau ternyata bibir dower atau mata panda atau entah bakalan ada bengkak muncul di mana.

Makanya, ketika ada salah satu temen gw bercerita, ada temannya yang sedang menerapkan diet dengan semangat 45, rasanya gimana ya..
Kalau gw boleh berandai-andai, gw kadang berharap badan gw ga "semanja" ini, yang cuman bisa dikasih supply makanan terbatas. Walaupun emang sih, jadinya opsi makanan yang terbatas ini bisa dibilang cukup sehat.
Tetep aja, makan itu selain merupakan salah satu kebutuhan hidup, juga merupakan salah satu kenikmatan hidup.

Selama kondisi kesehatan memang memungkinkan, rileks lah... nikmati setiap suapan makanan sebelum makan itu dilarang :D

---- penulis tidak bertanggung jawab atas resiko yang diakibatkan makanan yang Anda makan ----








Wednesday, July 31, 2013

Apa sih Bedanya Sotong dan Cumi?

Ini post yang tidak penting sebenarnya.
Cuman sekedar iseng-iseng memenuhi rasa penasaran.

Kemarin saya mendapatkan undangan berbuka bareng bersama rekan-rekan 1 departemen.
Tempatnya di Seroeni, Street Gallery Pondok Indah Mall.
(tenang, saya bukan mau mereview makanan, karena namanya juga ini iseng-iseng, hihihi).

Salah satu menu yang keluar adalah Singapore Crispy Sotong.
Tentunya karena semua menu sudah dipesankan sebelumnya, ketika itu sampai di meja, pertanyaan saya adalah "Apakah itu?"
Teman-teman saya mengatakan "Cumi".
Okay, saya tidak alergi cumi, jadi bolehlah saya mengicip itu sedikit, supaya menu makan malam saya tidak hanya brokoli tumis bawang putih dan tumis buncis.

Satu gigit, kemudian saya bertanya lagi , "Ini sotong bukannya?"
Teman saya,"Emang apa bedanya sotong dan cumi?"
Saya, "Kayaknya sih beda, biasanya sotong lebih asin." -> saya mulai bergaya sotoy sembari ga yakin..

Ketika ada buku menu, saya mencoba mengintip sebenarnya apa yang saya icip itu. Ternyata di buku menu tertulis Singapore Crispy Sotong. Di list menu juga ada beberapa menu cumi. Saya berkesimpulan Sotong dan Cumi tampaknya dua makhluk yang berbeda. Paling tidak secara jenis olahan pangan, namanya berbeda.

Jadi karena penasaran, pagi ini saya mengoogling dong apa bedanya Sotong dan Cumi.
Secara saya ga tau pasti istilah bahasa inggrisnya sotong, ya sudah saya masukkan "sotong cumi" sebagai keyword.
Muncullah wikipedia bahasa Indonesia.

Sotong:
Sotong atau "ikan" nus adalah binatang yang hidup di perairan, khususnya sungai maupun laut atau danau. Hewan ini dapat ditemukan di hampir semua perairan yang berukuran besar baik air tawar, air payau, maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan. Sotong juga merupakan makanan sejenis seafood.
Sotong sering kali disalahtafsirkan sebagai cumi-cumi. Keduanya berbeda karena sotong bertubuh pipih, sementara cumi-cumi lebih berbentuk silinder. Selain itu, cangkang dalam sotong tersusun dari kapur yang keras, sedangkan pada cumi-cumi lunak.
Cumi-cumi:
Cumi-cumi adalah kelompok hewan cephalopoda besar atau jenis moluska yang hidup di laut.[1] Nama itu Cephalopoda dalam bahasa Yunani berarti "kaki kepala", hal ini karena kakinya yang terpisah menjadi sejumlah tangan yang melingkari kepala.[2] Seperti semua cephalopoda, cumi-cumi dipisahkan dengan memiliki kepala yang berbeda. Akson besar cumi-cumi ini memiliki diameter 1 mm. Cumi-cumi banyak digunakan sebagai makanan.[rujukan?]
source: http://id.wikipedia.org/wiki/Sotong dan http://id.wikipedia.org/wiki/Cumi-cumi

Jangan tanya saya apa maksud detailnya ya, soalnya saya bukan ahli biologi :p
Tapi ternyata sotong dan cumi memang berbeda dan jangan pula ikuti kesotoyan saya yang mengatakan bedanya ada di rasa asin :))

Oh ya, sotong = cuttlefish, cumi-cumi = squid.

Kalau masih belum puas dengan postingan ini, ketika blogwalking saya menemukan ada blogger lain yang telah mengupas perbedaan sotong, cumi-cumi dan gurita secara lebih detail. Monggo dicek terlebih dahulu di link ini kalau masih penasaran.

Tuesday, July 30, 2013

"Terbiasa" dan "Bangga" menjadi Kancil

Siapa sih orang Indonesia yang tidak tahu mengenai dongeng-dongeng si Kancil?

Kancil terkenal sebagai hewan yang biarpun kecil secara fisik, namun memiliki kecerdikan, sehingga bisa bertahan di dunia belantara (melebihkan). Entah dalam menghadapi buaya atau pun petani.

Saya tidak suka dengan karakter si Kancil ini.
Menurut pendapat saya pribadi, apa yang dilakukan Kancil ini tidaklah cerdik, melainkan curang.

Apa yang curang?

Misal dalam cerita Kancil dan Buaya.
Kancil ingin menyeberangi sungai, dan dia mengakali sang Buaya demi mendapatkan keinginannya.

Hal itu pula yang terjadi di sekian dongeng Kancil yang lain.
Dia "mengakali" untuk mendapatkan keinginan.

Yang patut disayangkan, dongeng-dongeng Kancil ini cukup lekat dengan pendidikan anak di Indonesia. Dongeng Kancil seringkali dipergunakan untuk bacaan singkat dalam pelajaran bahasa.
Kalaupun ada pembahasan mengenai karakter si Kancil, yang ditekankan adalah kecerdikan.
Sangat jarang ada pembahasan mengenai hal yang dilakukan si Kancil adalah "mengakali".

Apa jadinya jikalau tokoh Kancil menjadi sosok teladan?
Yang akan melekat adalah "tidak apa-apa kita mengakali sesuatu demi mendapatkan keinginan".
Sesuatu itu bisa berarti peraturan, orang yang dianggap jahat, atau siapa pun itu.

Itulah yang sepertinya cukup banyak terjadi saat ini.
Orang sebegitu terbiasa mengakali peraturan, dan yang paling aneh, ada orang-orang yang "bangga" kalau berhasil mengakali peraturan.

Bagi saya, mengetahui kalau ada orang-orang yang terbiasa mengakali peraturan saja sudah merupakan suatu hal yang membuat dahi saya berkerut. Bangga? Tampaknya memang ada sesuatu yang salah.

Contoh mengenai "terbiasa":
  • saking seringnya orang di Indonesia terbiasa mempergunakan jasa calo dalam mengurus entah SIM, STNK, dan lain sebagainya, maka akan sulit mencari informasi bagaimana sebenarnya prosedur yang memang resmi.
  • pembajakan: di Indonesia, pemahaman mengenai hak kekayaan intelektual belum benar-benar dipahami. Alasan biaya yang lebih ekonomis dijadikan justifikasi yang "membenarkan" penggunaan barang bajakan. Saya tidak munafik, pernah ada masa ketika saya menikmati mengunduh sekian GB Mp3 atau pun MKV. Namun sejak saya kehilangan semua "koleksi" sekian GB tersebut, saya merasa bahwa saya harus merubah, karena toh bukannya saya tidak mampu untuk membeli. Sejak itu saya hanya mendengarkan lagu dari radio, atau saya akan membeli CD lagu tersebut, atau membeli lagu tersebut di iTunes. 

Contoh mengenai "kebanggaan"
  • kecepatan di jalan tol: berapa banyak orang yang menyadari bahwa batas kecepatan di jalan tol itu rata-rata 60-80 km/jam? Saya hanya menemukan 1 ruas tol yang memperbolehkan batas kecepatan maksimum 100 km/jam, yaitu di ruas Cikampek. Logikanya, dengan batas kecepatan segitu, waktu tempuh Jakarta Bandung akan mencapai minimal 2 jam. Nah, seringkali saya mendengar cerita "bangga" kalau bisa menempuh Jakarta- Bandung hanya dalam sekian jam (bahkan ketika belum ada tol Purbaleunyi lho). Atau misal di posting saya yang lain, pernah ada kejadian suami saya menyetir dengan kecepatan 80 km/jam dan malah diklakson, disiram air, dikepet? What's wrong? Batas kecepatan di suatu jalan tentunya telah dibuat dengan mempertimbangkan aspek keselamatan. Untuk apa Anda perlu merasa bangga jika bisa melewati batas itu? Jikalau Anda ternyata mengalami kecelakaan, maaf ya, saya tidak akan bersimpati pada Anda.
  • ini yang paling baru saya baca ya... Indonesia tidak menganut dual citizenship kecuali bagi anak-anak di bawah 17 tahun yang berasal dari perkawinan campur. Ternyata ada beberapa orang yang menceritakan dengan "bangga" nya kalau mereka memiliki dua paspor. Saya kurang paham juga sebenarnya mengapa pemerintah membatasi jumlah kewarganegaraan, tapi aturan dibuat pasti ada tujuannya. Dan selama Anda memegang paspor RI, berarti Anda tunduk terhadap undang-undang RI, yang berarti Anda tidak boleh memegang 2 kewarganegaraan. Patuhilah, atau buanglah paspor RI tersebut.
Masih ada sekian banyak cerita mengenai "terbiasa" dan "bangga" menjadi Kancil. (Ya, BANYAK).

Saat ini saya sedang mengandung seorang anak. Saya hanya berharap, moga-moga nanti dia tidak menjadi seorang Kancil.

 

Thursday, July 11, 2013

Pagi yang Tidak Menyenangkan

Pagi ini, saya dan suami mengalami kejadian yang sangat tidak menyenangkan dalam perjalanan menuju kantor.
Beberapa minggu ini, untuk sementara kami menetap di Serpong, dikarenakan rumah kami yang di Radio Dalam sedang direnovasi.
Akibatnya, setiap hari kami harus melalui perjalanan komuter.
Untuk berangkat, kami melewati tol BSD, kemudian keluar di pintu tol Tanah Kusir.

Pagi ini cerah. Saya pun mengira ini akan menjadi perjalanan santai seperti biasa.
Tetapi ternyata tidak demikian.
Di sekitar km 00-02, mobil kami diklakson tanpa henti oleh seorang pengemudi dari mobil yang tepat di belakang kami.
Siapa pun yang sering melewati jalan tol BSD, pasti mengetahui bahwa di sekitar km itu, biasa terjadi antrian yang cukup panjang karena tikungan yang cukup tajam. Kalau pun tidak sampai merayap, pada umumnya para pengemudi akan menurunkan kecepatan mobil.
Itu juga yang dilakukan oleh suami saya, supaya jarak dengan kendaraan di depan tetap terjaga.

Namun, tampaknya ada pengemudi mobil lain yang berpikiran lain. Entah mungkin dia berpikir kami terlalu pelan, or dia merasa untuk apa orang mesti menjaga jarak.
Maka yang dia lakukan adalah mengklakson non stop, kemudian menyelip dari kiri, membuka jendelanya, dan meneriaki kami "Kalau mau jalan pelan, di tengah sana!".
Ingat, kondisi sedang padat merayap, jadi semua mobil berjalan pelan.

Kemudian, selepas tikungan, suami saya berpindah ke kiri dong, secara kami kan mau keluar juga di pintu tol tanah kusir. Pengemudi mobil tadi mengambil posisi ke kanan mobil kami, membuka jendelanya, kemudian menyiram kaca mobil kami dengan air.
Di saat itu saya akhirnya tidak kuat menahan emosi, saya geram dan bergetar kemudian menangis.

Belum puas juga, pengemudi itu kemudian kembali mengepet kami dari kiri, kemudian tetap dengan jendela nya terbuka, kembali memaki maki kami.
"Makanya kalau nyetir lihat-lihat, lihat tuh lu bawa cewek!"
Kemudian dia mengebut ke depan.
Saya? Menangis semakin keras...
Suami saya? Mencoba menenangkan saya.

Coba sekarang Anda bayangkan, pengemudi tadi, posisinya sempat di belakang kami, ke kiri kami, ke kanan kami, ke kiri lagi kemudian di depan kami.
Plus, dia sempat-sempatnya menyiram kaca mobil kami dengan air, dan memaki maki kami.

Ingat juga, ketika kejadian dia pertama kali mengklakson dan meneriaki kami, hampir semua kendaraan berjalan pelan karena sedang berbelok, dan jarak yang dijaga oleh suami saya itu sama juga dengan yang dilakukan kendaraan depan kami.

Apakah kami hanya sekedar apes karena kebetulan kami yang persis di depan mobilnya pengemudi itu?

Apakah mungkin karena kami membawa mobil plat D jadinya dianggap tidak layak menyetir di Jakarta ya?

Apakah dia emosi melihat kami berjalan  kurang cepat (menurut dia) karena dia sedang buru-buru karena mungkin ada keadaan darurat?

Entahlah....

Yang pasti, ini merupakan pagi yang tidak menyenangkan...

Tuesday, May 14, 2013

Propinsi dan Pulau.. Seberapa banyak kumelangkah?


Sebenarnya sih, saya agak bingung dengan jumlah propinsi di Indonesia.
Dulu pas zaman sekolah sih masih 27.
Terus berkurang jadi 26 (bye Timor Leste).
Sekarang ada 34 kan ya? (memeriksa cepat, dan tampaknya benar).

Jadi sekarang saya mau berhitung, sudah berapa banyak propinsi dan di Indonesia yang sudah saya kunjungi hingga per tanggal yang gw sebut di bawah ya.

Propinsi:

  1. DKI Jaya
  2. Banten
  3. Jawa Barat
  4. Jawa Tengah
  5. DI Yogyakarta
  6. Jawa Timur
  7. Bali
  8. Nusa Tenggara Barat
  9. Nusa Tenggara Timur
  10. Kalimantan Barat
  11. Kalimantan Timur
  12. Kalimantan Selatan
  13. Sumatera Selatan
  14. Sumatera Utara
  15. Riau
  16. Kepulauan Riau
  17. Kepulauan Bangka dan Belitung 

Ternyata pas setengah (Juni 2013).... lumayan....

Kalau pulau sih, kayaknya susah dihitung ada berapa pulau di Indonesia ya. 16000-17000 sih sepertinya.
Yang sudah saya kunjungi:

  1. Jawa
  2. Kalimantan
  3. Sumatera
  4. Bali
  5. Bangka
  6. Batam
  7. Umang
  8. Nusa Lembongan
  9. Flores
  10. Komodo
  11. Kambing
  12. Rinca
  13. Lombok
  14. Gili Trawangan
  15. Gili Air
  16. Timor (Oktober 2013)
Ternyata masih sedikit sekali.

Jadi mari kita menggiatkan jalan-jalan :D

Thursday, April 4, 2013

Susahnya Mengurus Dokumen di Indonesia (Akte Pernikahan Catatan Sipil)

Bulan ini saya akan menikah.

Dan bagi saya, penyiapan dokumen yang dibutuhkan untuk catatan sipil ini membutuhkan perjuangan yang lumayan ya.

Ini gambaran benang kusutnya..

Posisi saya dan calon saya saat ini di Jakarta Selatan.
KTP saya: Kabupaten Bandung, status expired di akhir 2012, perpanjangan tidak bisa dilakukan karena bersamaan dengan e-KTP. Disuruh menunggu sekalian e-KTP keluar. Hingga februari tidak ada tanda tanda penampakan e-KTP, jadinya dibuatkan KTP instan sementara.
Hingga pertengahan maret KTP instan tidak muncul (apanya yang instan ya?) , dan katanya sih tidak jadi dikeluarkan karena e-KTP selesai di akhir maret (tapi belum ada di tangan saya juga hingga hari ini.)

Saya dulu lahir di suatu kota di luar negeri, jadinya yang saya miliki adalah akte kelahiran dari catatan sipil di luar, dan terjemahan oleh KBRI ke bahasa indonesia. Selama ini untuk sekolah, pengurusan paspor dan segala macam tidak pernah ada masalah.   ini menjadi masalah ternyata, updatenya ada di bagian bawah posting ini ya.. (4/12/2013)
Kebetulan orang tua saya berbeda agama.

KTP calon saya: Kota Jakarta Selatan. Dia lahir di Malang dan kebetulan juga dari pernikahan beda agama.

Jadi menurut berkas petunjuk awal, untuk mengurus akte pernikahan ke catatan sipil, dokumen yang perlu disiapkan sebenarnya adalah:

  • surat pengantar dari kelurahan N1, N2, N4, PM1 dari masing masing calon pengantin.
  • surat belum menikah dari calon pengantin, tanda tangan meterai Rp 6000,00
  • surat izin dari orang tua yang mengizinkan anaknya menikah. (ini juga lucu, secara hasil googling saya mengatakan bahwa surat izin ini hanya dibutuhkan jikalau calon pengantin masih di bawah umur)
  • (Fotokopi) akte kelahiran, akte pernikahan orang tua, kartu keluarga, surat baptis
  • Fotokopi KTP calon pengantin dan fotokopi orang tua
  • Foto 4x6 berdampingan



PENTING: bila lokasi pernikahan berbeda daerah tingkat II dengan KTP calon pengantin, ada surat keterangan belum menikah yang dikeluarkan oleh Disduk setempat dan ditujukan ke Disduk tempat pernikahan akan berlangsung
Contoh: KTP saya Kabupaten Bandung, calon saya Kota Jakarta Selatan, sementara kami akan menikah di suatu kapel yang letaknya di Kotamadya Bandung.

Jadi saya harus meminta segala surat itu dari RT, RW, Kelurahan, kemudian di bawa ke Disduk Kabupaten Bandung untuk meminta surat belum menikah (yang ada di Soreang, padahal kecamatan rumah orang tua saya ada di Cimenyan alias di Bandung Utara), sementara calon saya harus mengurus semua dokumen itu di RT, RW, Kelurahan, kemudian meminta surat keterangan belum menikah di Disduk Jakarta Selatan.

Kenapa saya memakai tanda () untuk fotokopi? karena walaupun ada fotokopian, tapi ternyata Disduk Kota Bandung meminta penunjukan dokumen asli.
Kalau semua lokasinya di Bandung sih gampang mungkin ya.
Masalahnya sebagian di Bandung, sebagian di Jakarta Selatan, sebagian di Malang.

Jangan lupa soal batas waktu:
Disduk merekomendasikan penyerahan berkas dilakukan 30 hari sebelum hari pernikahan.
Kalau waktu penyerahan berkas terjadi kurang dari 10 hari, maka ada semacam fee tambahan.

Dan ini saya belum membahas soal biaya ya.
Kasarannya, dari hasil mengintip beberapa web Disduk, biaya di masing masing area bisa berbeda.

Menikah sesama WNI, atau dengan WNA, beda lagi charge nya.
Menikah di gedung atau di luar gedung, ada charge lagi.
Menikah di hari libur juga ada charge lagi.


Kesimpulan: RIBET :))

dan sekarang saya mengerti kenapa banyak orang memilih menikah siri.

Update 4/12/2013:

babak ketiga dari pengurusan dokumen...

Saya dulu lahir di luar negeri. Jadi akte kelahiran saya tercatat di catatan sipil negara tersebut, dan ada terjemahan resmi dari KBRI (yang notabene perwakilan resmi Indonesia kan?).
Menurut pihak disduk kota Bandung, saya wajib melaporkan dulu ke disduk sesuai KTP untuk dibuatkan Kutipan Akte Kelahiran.
Pertanyaannya adalah, orang tua saya sudah datang ke Disduk Kabupaten Bandung untuk pengurusan surat pengantar, dan ketika itu sama sekali tidak ada masalah dengan akte kelahiran saya.
Jadi sebenarnya yang mana kah yang berlaku?

Nah, menurut hasil googling, ada dualisme...
Berdasarkan Pasal 29 Ayt (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dijelaskan bahwa, dalam kelahiran Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dicatatkan pada Instansi yang berwenang di negara setempat tidak menyelenggarakan pencatatan kelahiran bagi orang asing, maka pencatatan dilakukan pada Perwakilan RI setempat dan selanjutnya di catat dalam Register Akta Kelahiran dan menertibkan Kutipan Akta kelahirannya. Oleh peristiwa kelahiran anak Saudara terjadi di luar Wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia. Saudara wajib melaporkan peristiwa tersebut di negara setempat.
dikutip dari : disduk surabaya
Pelaporan kelahiran tersebut dilakukan paling lambat 30 hari sejak WNI ybs kembali ke NKRI.
dengan memenuhi syarat berupa :
  1. Kutipan Akta Kelahiran Luar Negeri
  2. Bukti Pengesahan dari Perwakilan Republik Indonesia  dari  negara setempat.
  3. Surat Pengantar dari  Kelurahan
  4. KTP dan KK orangtua
  5. Paspor anak dan orang tua
Dinas menerbitkan Tanda Bukti Pelaporan Kelahiran di Luar Negeri dan menyampaikan kepada pemohon
dikutip dari : disduk surakarta

ada ulasan dari blogger lain juga.

Nah....
masalahnya adalah......
itu undang undang baru muncul tahun berapa? 2006?
sementara saya datang ke Indonesia itu tahun 1989.
Jadi yang perlu dicek selanjutnya, apa yang berlaku sebelum tahun itu.

Sunday, February 10, 2013

Sang Anjing Tersenyum Lebar :D

Gong Xi Fa Cai!

Lho? Apa hubungannya Gong Xi Fa Cai dengan judul posting ini?
Tentu ada dong.

Kemarin, 10 Februari 2013, kita sudah memasuki Tahun Ular.
Bagi orang orang dengan shio Anjing (contohnya gw), tahun lalu yang merupakan tahun Naga itu merupakan tahun yang ciong.

Gw sih benernya antara percaya ga percaya kalau berurusan hal yang seperti itu.
Gw memilih untuk manggut manggut saja. Sekedar menghormati orang orang yang percaya akan hal itu..

Apalagi ketika ternyata tahun 2012 kemarin, banyak hal juga yang menurut gw merupakan suatu berkah yang patut disyukuri.
Secara karir, mungkin emang cukup berat karena gw harus keluar dari comfort zone, tapi sejauh ini masih bisa diatasi walaupun terjerembab sana sini.
Pas ulang tahun gw dapat door prize handphone? Puji Tuhan :D
Dalam kehidupan pribadi juga ada perubahan status sedikit, puji Tuhan juga...

Tapi...
apa yang terjadi di bulan terakhir Tahun Naga ini benar-benar menguras tenaga..
Ada apa saja ya?
  • Plafon rumah gw ambruk. Ga hanya satu papan, tapi nyaris seluruh ruang tengah rumah gw kehilangan plafon.
  • Mabuk tape. Ini konyol, tapi memang terjadi. Gw sebagai orang yang selalu mencoba menghargai masakan orang, tentunya berusaha menghabiskan masakan itu. Termasuk tape ketan bikinan calon mertua. Bodohnya, segelas tape itu gw santap ketika perut masih belum benar benar terisi. Sehari setelah santapan segelas tape ketan, gw mengalami hangover parah. Diare, mual dan demam. Hal itu terjadi selama 24 jam penuh. Kapok deh gw. (Heran deh, padahal gw dah beberapa kali minum bir, vodka, wine, dan ga pernah sampe kejadian seperti mabuk tape ini)
  • Rumah gw kebanjiran. Pas 1 hari sebelum tahun baru Imlek. Untungnya hanya masuk di area kamar mandi dan dapur.
  • dan sebagainya yang tidak perlu diceritakan di sini demi menghemat waktu
Intinya...
gw sih percaya semua hal pasti punya keseimbangan.
Ada waktunya untuk hal yang baik.
Ada waktunya untuk hal yang buruk.
Jika suatu saat terjadi hal yang baik secara berturutan, ya nikmati dan jangan lupa bersyukur.
Jika suatu saat terjadi hal yang buruk secara berturutan, sama saja, nikmati dan anggap itu sebagai proses dalam hidup.

Akhir kata, selamat tinggal Sang Naga, selamat datang Sang Ular...

Woof..woof.... :D

 

Monday, February 4, 2013

Center of the Universe

What is the center of the universe?
Is it the earth or the sun?
At this moment, most of the people would answered "The Sun".
But there was a time when people thought that The Earth is the center of the universe.

In my opinion, that's a good example of what do most people think is not always the correct one.

A few years ago, I joined some forum.
I liked being there.

Not anymore.

Just like the example above.

The forum is the universe.
Owner and the moderator is the law of the universe.

Intelectual discussions and reliable sources of information had changed into a repeated Q&As.
(it would be better if the thread's title is change into F.A.Q without discussion)
What was a taboo is no longer a taboo.

People said that I'm too strict. That I'm a black or white person. That I'm a binary person.
I always answer them "The world needs people like me. When all the people just follow the current or just follow what they want, then all the world would be in chaos in a short time."

The center of the universe in the forum is its member.
Who are the majority.
What do the majority want.

No matter who's right and what's right.
It's not important anymore.

I quit.

Fin...